Cowok Hamil

Perasaan macam apa ini (?) {1}



Perasaan macam apa ini (?) {1}

"Apaan sih? Lepas ...!" Rio menyingkirkan tangan Jamal yang sejak tadi memegangi lengan dan pundaknya. "Gue bisa jalan sendiri!" Tegas Rio, kemudian ia memegang handle pintu kamar seraya memutar, lalu menariknya--hingga pintu terbuka lebar.     

Sambil memegangi perutnya yang mulai gendut, dengan sangat hati-hati Rio berjalan ke arah ranjang.     

Jamal hanya mematung di ambang pintu. Ia mendengkus kesal, sambil menatap punggung Rio dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun meski Jamal merasa kesal dengan sikap Rio, akan tetapi tidak bisa dipungkiri, jauh di dalam sana, Jamal masih sangat khawatir dengan keadaan Rio. Remaja itu masih merasa sangat khawatir kalau-kalau nanti, Rio akan jatuh lagi. Entahlah.     

Sejak Jamal dan Rio turun dari mobil, hingga keduanya sampai di depan pintu rumah, Jamal memang tidak mau melepaskan cekalannya pada Rio--ingin membimbing atau membantunya berjalan.     

Tapi lantaran Rio merasa dirinya baik-baik saja, oleh sebab itu ia selalu menyingkirkan tangan Jamal, menolak bantuan dari Cowok itu. Tidak hanya itu, selama perjalanan pulang dari klinik--menuju ke rumah, Rio juga lebih banyak diam. Entahlah, Rio masih benar-benar kesal dengan kelakuan Jamal.     

"Lu tuh nggak tau trima kasih ya?" Dengan hati yang dongkol, Jamal berjalan ke arah Rio yang sudah mendudukkan dirinya di tepi ranjang. "Maksud gue kan baik, gue mau bantu lu, gue khawatir sama_" Jamal menggantungkan kalimatnya, ia terlalu gengsi kalau harus mengatakan; 'gue khawatir sama elu'. Jamal membuang napas kasar sambil berkacak pinggang, dihadapan Rio. Remaja itu memalingkan wajahnya lalu melanjutkan kalimatnya yang masih menggantung. "Sama anak gue!"     

Rio menghela, lantas menatap kesal pada Jamal yang terlalu berlebihan menurutnya. "Lu nggak denger? tadi dokter Mirna bilang kalo bayi kita baik-baik aja." Ucap Rio tanpa sadar. "Lu nggak perlu khawatir! Yang perlu lu khawatirin tu temen-temen sekolah!"     

"Kok temen-temen sekolah?" Jamal mengkerutkan kening, menatap heran ke arah Rio.     

"Ya iya lah? Gara-gara lu gendong gue, gue jadi takut mereka bakal mikir macem-macem soal kita!" tegas Rio. "Mana gue belum sempet nemuin kepala sekolah lagi. Gara-gara lu juga, gue jadi nggak berani masuk sekolah besok!" Rio membuang napas kasar, membuang pandangannya kemana saja.     

Jamal terdiam sambil memikirkan kata-kata Rio barusan. Rio ada benarnya juga sih, teman-teman sekolah mungkin merasa heran dengan apa yang sudah mereka lihat. Karena yang mereka tahu, selama ini antara Jamal dan Rio sama sekali tidak pernah akur. Hal itu membuatnya merujuk perasaan serba salah pada diri Jamal.     

Rio mendengkus, ia masih merasa dongkol kepada Jamal yang masih berdiri mematung di hadapannya--sambil berkacak pinggang. Namun beberapa saat kemudian wajah Rio berubah menjadi datar, sediki demi sedikit wajah kesalnya berubah menjadi iba saat mengamati banyak luka memar di wajah cowok itu.     

"Khawatirin juga tuh luka!" Setelah menyampaikan itu dengan nada ketus, Rio beranjak dari duduknya seraya berkata, "apa mau ditambahin lagi? Biar makin keliatan keren."     

Setelah mencibir remaja itu, kemudian Rio berjalan ke arah pintu sambil memegangi perutnya yang mulai gendut. Semenatara Jamal langsung menjatuhkan pantatnya di tepi tempat tidur, setelah Rio keluar dari kamar mereka.     

Jamal menghela napas, wajahnya juga terlihat serba salah. Ia masih kepikiran sama teman-temannya di sekolah. Tentu saja Jamal juga tidak ingin mereka memgetahui tentang hubungannya dengan Rio. Apalagi kalau sampai teman sekelas tahu bahwa sebenaranya ia dan Rio sudah menikah dan tinggal satu rumah. Ditambah lagi dengan keadaan Rio yang ternyata sedang mengandung anaknya. Tidak! Jamal belum siap, atau bahkan tidak akan pernah siap akan hal itu.     

Beberapa saat kemudian perhatian Jamal beralih ke arah pintu kamar yang kembali dibuka oleh seseorang. Keningnya berkerut, saat melihat Rio berjalan masuk sambil membawa mangkuk besar, dan ada handuk kecil di genggamannya.     

Dengan wajah heran, manik mata Jamal mengikuti pergerakan tubuh Rio dari awal masuk ke kamar hingga sampai di tepi ranjang. Rio juga terlihat hati-hati meletakan di tepi ranjang, mangkuk besar yang ia bawa dari dapur.     

Air hangat? Pikir Jamal saat melihat air di dalam mangkung tersebut, masih mengeluarkan sedikit kepulan asap.     

Setelah mendudukan dirinya di samping Jamaln Rio mencelupkan handuk kecil kedalam mangkuk. Memeras handuk tersebut hingga kering, kemudian dengan detail Rio mengamati beberapa luka di wajah cowok yang sedang menatapnya bingung.     

"Lu... mau ngapain?" Heran Jamal, melihat Rio mengulurkan handuk ke arah wajahnya.     

Rio mendengkus, "Gue bersihin lukanya." Sebenarnya Rio sama sekali tidak ada niat untuk melakukan itu. Tapi entahlah pada saat ia akan masuk ke kamar mandi, tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Semua diluar kendali Rio. "Kalau nggak buru-buru di obatin nanti infeksi."     

"Oh..." Nada suara Jamal terdengar gugup.     

Secara perlahan dengan sangat hati-hati, Rio menempelkan handuk basah tersebut pada ujung bibir Jamal. Luka yang terlihat paling parah.     

"Aduh..." ringis Jamal sambil menjauhkan wajahnya dari handuk basah tersebut. Ia merasakan perih yang luar biasa saat handuk itu menyentuh lukabya. "Pelan-pelan dong! Sakit tau?! Lu mau nyiksa gue...?" omel Jamal.     

Rio menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum meremehkan seraya mendesis. "Katanya nggak seberap, enggak sakit." Rio mencibir.     

"Ya- tetep aja perih," gugup Jamal. Kemudian dengan ragu-ragu ia kembali memasang wajahnya di hadapan Rio, bersiap menerima perawatan dari cowok itu.     

Sedangkan Rio melanjutkan kembali membersihkan beberapa luka di wajah Jamal. Kali ini remaja itu melakukannya dengan lembut dan sangat hati-hati. Meski kesal, tapi ia tidak setega itu melihat cowok yang sedang meringis, menikmati rasa perih di wajahnya.     

Tidak ada lagi keributan pada saat Rio membersihkan tiap-tiap luka di wajah Jamal. Rio terlihat sangat fokus melakukan tugasnya, tanpa ada komentar apapun yang keluar dari mulutnya.     

Sementara Jamal hanya terdiam, bola matanya memperhatikan secara intens wajah Rio yang terlihat sangat tenang. Di tatapnya wajah itu dalam-dalam, sampai akhirnya Jamal merasakan ada debaran hebat yang sedang ia rasakan pada jantungnya. Jamal menelan ludah, merasakan desir-desir aneh, menjalar di hatinya, membuatnya merasa hangat.     

Selama beberapa saat bola mata Jamal seperti tidak ingin berkedip. Remaja itu tertegun, membuat debaran di jantung menjadi semakin tidak terkontrol.     

"Apa?!" Ketus Rio saat ia menyadari kalau Jamal menatapnya terlalu lama.     

Hal itu tentu saja membuat Jamal tersentak sadar. "Apa?!" Balas Jamal tidak kalah ketus.     

Jamal melempar pandangannya ke sembarang arah. Remaja itu tidak ingin menatap wajah Rio, supaya debaran di jantungnya bisa kembali normal. Tapi anehnya manik mata Jamal seperti tidak bisa diajak bekerjasama. Selalu saja mencuri melirik ke arah sana--ke arah wajah Rio yang membuat denyut jantungnya kembal berdetak lebih cepat. Kenapa seperti ini? Bingung Jamal di hatinya.     

Grek...!     

Suara pintu yang dibuka oleh seseorang, membuat Jamal dan Rio tersentak kaget. Secara bersamaan kedua remaja itu menoleh ke arah sumber suara itu berasal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.